pernahkah kalian merasakan dilemma yg luar biasa karena logika dan perasaan kalian sedang bertempur hebat? dimana masing-masing dari mereka meneriakkan pembenaran serta penghujatan atas dua hal yg berkebalikan?
itulah yg sedang kualami saat ini..
aku sedang berdiri di depan sebuah pintu dengan cat putih yg mulai mengelupas.. pintu itu tampak sederhana, namun aku tahu bahwa apapun yg berada di baliknya tidaklah sesederhana daun pintu yg menyembunyikannya dari pandangan..
di tanganku tergenggam sebuah kunci tembaga.. ya, seseorang dari masa lalu telah memberiku kunci itu dan ia berharap aku mau membuka pintu itu untuk menghadapi apapun yg ada di baliknya.. namun aku hanya bisa terdiam dan berpikir keras mengenai apa yg sebaiknya kulakukan dengan kunci itu, karena aku terlalu takut untuk mencari tahu apa yg menungguku di balik pintu itu..
sembari mematung, aku mengawasi ‘perasaan’ dan ‘logika’ sedang sibuk berdebat seru..
akhirnya ‘perasaan’ berhasil menyemangatiku untuk memasukkan kunci itu ke lubang kunci dan memutarnya perlahan.. namun ketika tanganku telah meraih kenop pintu, tiba-tiba ‘logika’ membentak dan memintaku untuk menjauhi pintu itu.. aku terperanjat dan secara refleks menarik tanganku, beserta kunci, dari pintu.. ketika rasa terkejut mulai memudar dari dalam diriku, aku perlahan mulai membenarkan apa yg baru saja dikatakan ‘logika’..
aku pun melangkah mundur dari depan pintu, tapi masih tetap menatap pintu itu dengan penasaran, berharap pintu itu bisa terbuka sendiri dan memperlihatkan isinya tanpa aku harus melangkah melewatinya..
‘logika’ tersenyum penuh kemenangan, tetapi ‘perasaan’ menatapku dengan sedih..
aku menunduk dan tak berani membalas tatapan ‘perasaan’..
ingatanku kembali pada sebuah peristiwa yg terjadi setahun lalu.. ketika itu aku melakukan sesuatu atas permintaan ‘perasaan’.. yg kulakukan ketika itu sungguh menyakiti diriku, namun aku tetap bertahan karena ‘perasaan’ memintaku demikian sambil berlutut dan menangis.. selama itu ‘logika’ hanya mengawasi kami dengan ekspresi aneh pada wajahnya.. berulang kali ia berusaha menghentikanku, namun entah mengapa aku menulikan telingaku terhadap seruannya, dan tetap melanjutkan apa yg sedang kulakukan, yaitu menyakiti diriku sendiri..
akhirnya ‘logika’ kehilangan kesabaran.. ia menampar pipiku dengan sekuat tenaga.. ‘perasaan’ menjerit, dan aku merasakan rasa sakit yg luar biasa akibat tamparan itu, lebih menyakitkan dibandingkan rasa sakit yg telah kuberikan pada diriku sendiri.. aku jatuh terduduk, terlalu sakit untuk membalas tamparan ‘logika’, juga terlalu lemah untuk kembali melanjutkan apa yg sedang kulakukan sebelumnya..
‘logika’ berteriak marah “kau pikir apa yg sedang kau lakukan?! sampai kapan kau akan menyakiti dirimu sendiri seperti ini?!”
aku mulai menangis sejadi-jadinya..
aku menangisi rasa sakit yg menderaku akibat perbuatanku sendiri, aku menangisi rasa sakit akibat tamparan ‘logika’, aku menangisi ‘perasaan’ yg kini berlutut memelukku sambil tersedu-sedu..
rasa sakit yg diberikan ‘logika’ memang lebih menyiksaku dibandingkan rasa sakit akibat hal yg kulakukan atas permintaan ‘perasaan’, namun menjernihkan pikiranku..
apa yg telah kulakukan?
aku tahu ‘perasaan’ tidak berniat buruk, aku tahu akulah yg sebenarnya bodoh..
aku berdiri, memeluk ‘logika’ dengan penuh terima kasih.. rasa sakit yg telah ia berikan akan selalu membekas, sebagai pengingat bahwa aku pernah melakukan tindakan bodoh, dan sekarang lah saatnya bangkit kembali dari rasa sakit yg kualami..
aku kembali pada masa sekarang, dimana ‘logika’ dan ‘perasaan’ sedang berdiri di sebelah sebuah pintu sederhana dengan cat mengelupas, menatapku dengan ekspresi yg berkebalikan..
‘perasaan’ berkata “tidakkah kau ingin mengetahui apa yg ada di balik pintu ini? mungkin saja di baliknya ada sebuah jalan menuju kebahagiaan yg selalu kau dambakan!”
‘logika’ menggelengkan kepalanya tidak percaya dan membantah “kau gila? kuberitahu kau, apa yg ada di balik pintu ini pernah menyakitimu dengan cara paling menyakitkan yg bisa kaubayangkan! bagaimana kau bisa yakin bahwa hal itu tidak akan menyakitimu lagi? kau tidak boleh membiarkan dirimu merasa sakit, tidak lagi!”
aku menggelengkan kepalaku, berusaha menjernihkan pikiranku..
tanpa sadar, tanganku memainkan kunci tembaga itu.. aku betul-betul tidak tahu apa yg harus kulakukan dengan benda kecil ini.. haruskah kugunakan? atau kubuang saja?
tiba-tiba aku tersentak.. ‘logika’ menghampiriku dan menarik tanganku menjauhi pintu.. “kita pergi saja,” ia berujar tegas, “karena tak ada gunanya tetap di sini.”
langkahku tertahan, mataku menangkap bayangan wajah ‘perasaan’..
wajah itu berkeriut menahan tangis, tampak luar biasa pilu..
“tunggulah dulu,” ia berbisik lirih, “tunggulah dulu, jangan pergi, beri ia sedikit kesempatan.”
aku menggelengkan kepala tak mengerti, “siapa?”
‘perasaan’ menatapku lurus-lurus dan berkata, “dia yg memberimu kunci itu.”
“dia?” aku mengulang, “kenapa aku harus menunggunya?”
“ya! kenapa harus menunggunya?” timpal ‘logika’ dengan sengit. “dia takkan datang! dia terlalu pengecut untuk datang!”
“kumohon,” bisik ‘perasaan’ sedih, “berilah waktu sedikit lagi, kumohon.”
‘logika’ menarik tanganku namun aku tak bergeming, masih menatap ‘perasaan’.. “baiklah,” ujarku tegas, “aku akan memberi sedikit waktu, namun bila ia tak kunjung muncul maka aku akan pergi bersama ‘logika’!”.
itulah yg sedang kualami saat ini..
aku sedang berdiri di depan sebuah pintu dengan cat putih yg mulai mengelupas.. pintu itu tampak sederhana, namun aku tahu bahwa apapun yg berada di baliknya tidaklah sesederhana daun pintu yg menyembunyikannya dari pandangan..
di tanganku tergenggam sebuah kunci tembaga.. ya, seseorang dari masa lalu telah memberiku kunci itu dan ia berharap aku mau membuka pintu itu untuk menghadapi apapun yg ada di baliknya.. namun aku hanya bisa terdiam dan berpikir keras mengenai apa yg sebaiknya kulakukan dengan kunci itu, karena aku terlalu takut untuk mencari tahu apa yg menungguku di balik pintu itu..
sembari mematung, aku mengawasi ‘perasaan’ dan ‘logika’ sedang sibuk berdebat seru..
akhirnya ‘perasaan’ berhasil menyemangatiku untuk memasukkan kunci itu ke lubang kunci dan memutarnya perlahan.. namun ketika tanganku telah meraih kenop pintu, tiba-tiba ‘logika’ membentak dan memintaku untuk menjauhi pintu itu.. aku terperanjat dan secara refleks menarik tanganku, beserta kunci, dari pintu.. ketika rasa terkejut mulai memudar dari dalam diriku, aku perlahan mulai membenarkan apa yg baru saja dikatakan ‘logika’..
aku pun melangkah mundur dari depan pintu, tapi masih tetap menatap pintu itu dengan penasaran, berharap pintu itu bisa terbuka sendiri dan memperlihatkan isinya tanpa aku harus melangkah melewatinya..
‘logika’ tersenyum penuh kemenangan, tetapi ‘perasaan’ menatapku dengan sedih..
aku menunduk dan tak berani membalas tatapan ‘perasaan’..
ingatanku kembali pada sebuah peristiwa yg terjadi setahun lalu.. ketika itu aku melakukan sesuatu atas permintaan ‘perasaan’.. yg kulakukan ketika itu sungguh menyakiti diriku, namun aku tetap bertahan karena ‘perasaan’ memintaku demikian sambil berlutut dan menangis.. selama itu ‘logika’ hanya mengawasi kami dengan ekspresi aneh pada wajahnya.. berulang kali ia berusaha menghentikanku, namun entah mengapa aku menulikan telingaku terhadap seruannya, dan tetap melanjutkan apa yg sedang kulakukan, yaitu menyakiti diriku sendiri..
akhirnya ‘logika’ kehilangan kesabaran.. ia menampar pipiku dengan sekuat tenaga.. ‘perasaan’ menjerit, dan aku merasakan rasa sakit yg luar biasa akibat tamparan itu, lebih menyakitkan dibandingkan rasa sakit yg telah kuberikan pada diriku sendiri.. aku jatuh terduduk, terlalu sakit untuk membalas tamparan ‘logika’, juga terlalu lemah untuk kembali melanjutkan apa yg sedang kulakukan sebelumnya..
‘logika’ berteriak marah “kau pikir apa yg sedang kau lakukan?! sampai kapan kau akan menyakiti dirimu sendiri seperti ini?!”
aku mulai menangis sejadi-jadinya..
aku menangisi rasa sakit yg menderaku akibat perbuatanku sendiri, aku menangisi rasa sakit akibat tamparan ‘logika’, aku menangisi ‘perasaan’ yg kini berlutut memelukku sambil tersedu-sedu..
rasa sakit yg diberikan ‘logika’ memang lebih menyiksaku dibandingkan rasa sakit akibat hal yg kulakukan atas permintaan ‘perasaan’, namun menjernihkan pikiranku..
apa yg telah kulakukan?
aku tahu ‘perasaan’ tidak berniat buruk, aku tahu akulah yg sebenarnya bodoh..
aku berdiri, memeluk ‘logika’ dengan penuh terima kasih.. rasa sakit yg telah ia berikan akan selalu membekas, sebagai pengingat bahwa aku pernah melakukan tindakan bodoh, dan sekarang lah saatnya bangkit kembali dari rasa sakit yg kualami..
aku kembali pada masa sekarang, dimana ‘logika’ dan ‘perasaan’ sedang berdiri di sebelah sebuah pintu sederhana dengan cat mengelupas, menatapku dengan ekspresi yg berkebalikan..
‘perasaan’ berkata “tidakkah kau ingin mengetahui apa yg ada di balik pintu ini? mungkin saja di baliknya ada sebuah jalan menuju kebahagiaan yg selalu kau dambakan!”
‘logika’ menggelengkan kepalanya tidak percaya dan membantah “kau gila? kuberitahu kau, apa yg ada di balik pintu ini pernah menyakitimu dengan cara paling menyakitkan yg bisa kaubayangkan! bagaimana kau bisa yakin bahwa hal itu tidak akan menyakitimu lagi? kau tidak boleh membiarkan dirimu merasa sakit, tidak lagi!”
aku menggelengkan kepalaku, berusaha menjernihkan pikiranku..
tanpa sadar, tanganku memainkan kunci tembaga itu.. aku betul-betul tidak tahu apa yg harus kulakukan dengan benda kecil ini.. haruskah kugunakan? atau kubuang saja?
tiba-tiba aku tersentak.. ‘logika’ menghampiriku dan menarik tanganku menjauhi pintu.. “kita pergi saja,” ia berujar tegas, “karena tak ada gunanya tetap di sini.”
langkahku tertahan, mataku menangkap bayangan wajah ‘perasaan’..
wajah itu berkeriut menahan tangis, tampak luar biasa pilu..
“tunggulah dulu,” ia berbisik lirih, “tunggulah dulu, jangan pergi, beri ia sedikit kesempatan.”
aku menggelengkan kepala tak mengerti, “siapa?”
‘perasaan’ menatapku lurus-lurus dan berkata, “dia yg memberimu kunci itu.”
“dia?” aku mengulang, “kenapa aku harus menunggunya?”
“ya! kenapa harus menunggunya?” timpal ‘logika’ dengan sengit. “dia takkan datang! dia terlalu pengecut untuk datang!”
“kumohon,” bisik ‘perasaan’ sedih, “berilah waktu sedikit lagi, kumohon.”
‘logika’ menarik tanganku namun aku tak bergeming, masih menatap ‘perasaan’.. “baiklah,” ujarku tegas, “aku akan memberi sedikit waktu, namun bila ia tak kunjung muncul maka aku akan pergi bersama ‘logika’!”.